Selama ini Bojonegoro lebih dikenal dengan potensi migasnya. Migas yang terus meningkat hasil dan titik lokasinya membuat Bojonegoro semakin panas. Jika tidak diimbangi dengan penghijauan yang maksimal mungkin Bojonegoro jauh lebih panas dari Arab. Tapi untunglah di beberapa lokasi mulai di gerakkan penghijauannya, juga energi-energi positif tanam sejuta pohon makin marak dilaksanakan. Moga hal ini bisa bermanfaat dan hasilnya anak cucu tetap bangga dan nyaman tinggal di Bumi angling darmo ini.
Namun apakah teman-teman pernah sedikit mengintip "Tambang Minyak Tradisional" di daerah Wonocolo yang lebih di kenal "Blok Wonocolo" ???
Yappss.. Jauh dan sangat jauh lebih dulu mereka para penambang minyak tradisional lah yang berkecimpung mengambil dan mengolah minyak dari perut Bumi Bojonegoro. Dengan medan yang terjal naik turun berliku bebatuan membuat akses ke tempat tersebut lumayan berat, tapi jangan salah pemandangan yang Allah suguhin cukup dan sangat cukup kok untuk mengobati capek perjalanan. Alam yang indah dari ketinggian dimana kita bisa melihat kecantikan Hutan, persawahan dan semua kenampakan alam Kota Bojonegoro. "Dipake paralayang asyik kali yaaa..." :)
Jadi Sejak ditinggalkan Belanda, ratusan sumur minyak di daerah setempat banyak bertebaran. Saat ini dari ratusan sumur, hanya puluhan saja yang masih aktif. Dan kawasan ini pun kemudian dikenal sebagai 'Blok Wonocolo'. Sebagian dikelola oleh PT Pertamina di Kawengan dan yang lain dikelola oleh warga setempat secara berkelompak. Jarak sumur minyak yang dikelola tradisional dengan yang dikuasai Pertamina ini cukup dekat, sekitar 1 kilometer. Para penambang setiap harinya bisa menghasilkan ratusan liter minyak hasil sulingan. Sumur minyak ini memang oleh warga ditambang secara tradisional. Dengan memanfaatkan mesin diesel truk yang sudah tak terpakai dan bantuan tali baja atau slink, sumur berkedalaman 100 meter pun ditambang dan meghasilkan minyak mentah yang disebut lantung yang mengalir deras bercampur air.
Lantung kemudian dipisahkan dari air yang disatukan di tandon-tandon mini dekat sumur. Setelah dipastikan terbebas dari air, lantung itu pun disuling dengan cara direbus. Lantung di tuang di dalam drum-drum yang ditimbun tanah dan ditutup direbur hingga mendidih dalam waktu 3-7 jam. Perebusan lantung di dalam drum yang ditutup itu pun menghasilkan uap panas. Dari hasil uapnya itulah kemudian menjadi bahan bakar siap pakai.
Meski tidak sesempurna produksi industri migas, namun minyak hasil sulingan warga desa itu bisa untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin diesel maupun minyak tanah. Bahkan, meski tak banyak kadang juga menjadi bensin. Baik lantung maupun minyak hasil sulingan itu dijual para penambang ke pembeli yang sudah biasa menjadi pelanggan. Selain itu ada pula yang dikirimnya ke sejumlah koperasi yang kemudian disalurkan ke Pertamina. Dari hasil penambangan ini minyak hasil sulingan dijual ke pengepul seharga Rp. 3000 - Rp. 4000 / liter. Sementara minyak mentah atau biasa disebut lantung dijual Rp. 350 / liternya.
Aktivitas penambangan tradisional ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan hasilnya bisa dinikmati warga sekitar. Tapi uniknya di daerah setempat, meski minyak hasil sulingan bisa untuk bahan bakar diesel namun mereka menolaknya disebut solar dengan alasan kualitasnya jauh lebih baik dari pada solar.
Semoga saja akses menuju lokasi tersebut segera dipermudah, jadi akan banyak pengunjung dan bisa jadi tempat wisata edukasi buat para pengunjung. Karena banyak potensi lokal bojonegoro, Bojonegoro juga berhak maju di mata dunia. Bojonegoro pancen matoh..!!! (Bojonegoro memang bagus)
Posting Komentar
*Terimakasih... atas Kunjungannya... ^_^
Salam Persahabatan yaaa.... *_*